ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMOSIR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Semangat reformasi telah mendorong para
pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan secara holistik terhadap
pelaksanaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk melakukan perubahan
terakumulasi dan menjadi salah satu kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung
akibat sistem penyelenggaraan pemerintahan orde baru yang dianggap telah
menyimpang dari semangat konstitusi, tertutup, otoriter, dan sentralistik.
1
|
Salah
satu alasan penyelenggaraan otonomi daerah adalah agar pembangunan di daerah
berjalan seiring dengan pembangunan pusat. Ini merupakan bentuk koreksi atas
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang selama ini menitik beratkan pembangunan di
pusat dan kurang memperhatikan perkembangan pembangunan daerah. Dengan
kebijakan yang sentralistik ini menyebabkan terjadinya disparitas dan
ketidakseimbangan pelaksanaan pembangunan di pusat dan daerah. Akibatnya hampir
seluruh potensi ekonomi di daerah tersedot ke pusat sehingga daerah tidak mampu
berkembang secara mamadai. Jadi,
dengan otonomi daerah terkandung maksud
untuk memeperbaiki kekeliruan selama ini dengan cara memberikan peluang kepada
daerah untuk mendapatkan dana lebih besar dan kebebasan untuk mengelolanya
sendiri. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanahkan bahwa
pemberian otonomi kepada daerah dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan peran
serta masyarakat.
Adanya
Undang-Undang tersebut telah memberi kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Derah tingkat kabupaten
untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah mulai dari perencanaan,
pengendalian dan evaluasi, sehingga mendorong Pemerintah Derah untuk lebih
memberdayakan semua potensi yang dimiliki dalam rangka membangun dan
mengembangkan daerahnya. Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah adalah
perkembangan dari dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki
keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Pelaksanaan
otonomi daerah merupakan proses yang memerlukan keterlibatan segenap unsur dan
lapisan masyarakat, serta memberikan kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan keuangan daerah sehingga peran pemerintah adalah sebagai
katalisator dan fasilitator karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui
sasaran dan tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai katalisator dan fasilitator
tentunya membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung dalam rangka
terlaksananya pembangunan secara berkesinambungan.Pemberian
otonomi kepada daerah juga
dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam mengembangkan daerahnya
dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah baik itu Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten mempunyai hak dan kewajiban untuk
mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah kerjanya
masing-masing.
Pada umumnya ada tiga permasalahan
yang dihadapi pemerintah daerah yaitu ketidakefektifan, inefisiensi dan
penggunaan dana untuk kepentingan individu. Hal ini disebabkan karena tidak
terdapat mekanisme dasar pertanggungjawaban yang baku seperti organisasi
bisnis. Organisasi pemerintah tidak mengenal kepemilikan yang dapat memaksakan
pencapaian tujuan.
Hubungan keuangan antar pemerintah
merujuk pada hubungan keuangan antara berbagai tingkatan pemerintah dalam suatu
negara dalam kaitanya dengan distribusi pendapatan negara dan pola
pengeluaranya termasuk kekuasaan. Mulai dari tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi terhadap tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Implikasi langsungnya
adalah meningkatnya pendanaan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan. Sebelum era otonomi dan desentralisai,pendanaan utama pemerintah
daerah berasal dari pemerintah pusat dan PAD dengan pajak dan retribusi sebagai
instrumen utama penerimaan daerah.potensi daerah baik berupa Sumber Daya Alam (SDA) maupun SDM tidak
tersebar secara merata pada tiap-tiap daerah otonom. Permasalahan horizontal
(antar pemerintah daerah) muncul dalam hal upaya mengumpulkan sumber pendanaan
untuk biaya pembangunan. Pemeintah pusat berupaya untuk mengurangi kesenjangan
ini dengan mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Dana perimbangan yang
terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK).
Pengelolaan
keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan yang
terbesar dengan ditetapkanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang tersebut telah
memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. Kewenangan dimaksud
diantaranya adalah keleluasan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan arah,
tujuan dan target penggunaan anggaran.
Di sisi lain tuntutan transparansi
dalam sistem Pemerintah semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak
terkecuali transparansi dalam
pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah diwajibkan menyusun
laporan pertanggungjawaban yang menggunakan sistem akuntansi yang diatur oleh
pemerintah pusat dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang
bersifat mengikat seluruh Pemerintah Daerah. Dalam sistem Pemerintah Daerah
terdapat 2 subsistem, yaitu Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja
Perangkat Daerah
(SKPD). Laporan keuangan SKPD merupakan
sumber untuk menyusun laporan Keuangan SKPD, oleh karena itu setiap SKPD harus
menyusun laporan keuangan sebaik mungkin.
Dalam upaya mewujudkan pemerintah
yang transparan dan akuntabel dibutuhkan adanya satu jaminan bahwa segala
aktivitas dan transaksi pemerintah terekam secara baik dengan ukuran-ukuran
yang jelas dan dapat diikhtisarkan melalui proses akuntansi dalam bentuk
laporan, sehingga bisa dilihat segala yang terjadi dan terdapat didalam ruang
entitas pemerintah tersebut. Laporan tahunan (Laporan Keuangan) meskipun belum
melaporkan akuntabilitas secara keseluruhan dari entitas pemerintahan.
Sebagai upaya konkrit untuk
menunjukan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah adalah
penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi
prinsip tepat waktu dan dapat diandalkan (reliable)
serta disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang telah diterima secara
umum. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sedangkan ntuk
memudahkan teknis pelaksanaanya, pada tanggal 5 April 2007 lalu, pemerintah
telah mengeluarkan sejenis petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis
(juknis) melalui surat Edaran Mendagri No. S. 900/316/BAKD tentang “Pedoman
sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah” untuk memperinci Permendagri 13. Semua peraturan ini
mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBDN/APBD
disusun dan disajikan sesuai dengan SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan).
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
merupakan bagian dari pemerintah daerah yang melaksanakan fungsi pemerintahan
dan pelayanan publik,
baik secara langsung ataupun tidak. Untuk melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya tersebut, SKPD diberikan alokasi dan (Anggaran). Oleh karena itu,
kepala SKPD disebut juga Pengguna Anggaran (PA).
Selaku Pemegang Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD), kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
yang mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kepala SKPD, pada akhirnya
akan memeinta kepala SKPD membuat pertanggungjawaban atas kewenangan yang
dilaksanakanya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bukanlah spj (surat
pertanggungjawaban), tetapi berupa laporan keuangan.
Penyebutan SKPD selaku entitas
Akuntansi (accounting entity) pada
dasarnya untuk menunjukan bahwa SKPD melaksanakan proses akuntansi untuk
menyusun laoran keuangan yang akan disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota
melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan daerah.
Kertas kerja/laporan keungan oleh
SKPD ini dilatarbelakangi oleh
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang SAP.
Dinas Tata Kota Tata Bangunan (TKTB) sebagai salah
satu SKPD yang ada di wilayah Kabupaten Samosir sekaligus sebagai pengguna
anggaran juga harus membuat pertanggungjawaban atas kewenangan yang
dilaksanakanya sesuai dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang SAP.
Dari latar belakang diatas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengelolaan laporan keuangan yang dilakukan
di Kabupaten Samosir yang dituangkan dalam sebuah sikripsi yang berjudul : “ Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah
Pemerintah Kabupaten Samosir”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan
diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah
Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Samosir efektif?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam
penelitian ini tujuanya adalah untuk membatasi cakupan penelitian. Penelitian
ini difokuskan pada Analisis Pengelolaan
Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Samosir.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusah permasalahan di sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut:
Untuk mengetahui Pengelolaan
Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Samosir efekti atau tidak efektif.
1.5 Manfaat Penelitian
1.
Sebagai
bahan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan, terutama Pemerintah
Kabupaten Samosir, yaitu sebagai
bahan informasi dan pertimbangan mengenai pengelolaan keuangan daerah agar
dapat meningkatkan pengelolaan keuangan.
2.
Bagi
penulis merupakan penambahan wawasan dalam bidang ilmu pengelolaan keuangan.
3. Sebagai bahan masukan
bagi penelitian lebih lanjut yang terkait dengan pengelolaan keuangan
daerah.
BAB
II
URAIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan
adalah sebuah tindakan untuk mencapai tujuan keuangan di masa yang akan datang.
Pengelolaan keuangan meliputi pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan
keuangan keluarga, dan pengelolaan keuangan perusahaan. Pengelolaan keuangan
merupakan bagian penting dalam mengatasi
masalah ekonomi, baik masalah ekonomi individu, keluarga maupun
perusahaan.
Pengelolaan keuangan sangat
penting dalam setiap perusahaan, karena dengan pengelolaan keuangan yang baik
dapat memperlancar aktivitas perusahaan.
Menurut Syarifudin (2005;89) definisi pengelolaan
keuangan adalah sebagai berikut:
“Pengelolaan
keuangan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam menggerakan
para pejabat yang bertugas dalam bidang keuangan untuk menggunakan
fungsi-fungsi manajemen, meliputi perencanaan atau penganggaran, pencatatan, pengeluaran serta
pertanggungjawaban”[1].
9
|
Dari pengertian–pengertian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan adalah tindakan administratif yang berhubungan dengan kegiatan perencanaan anggaran, penyimpanan, penggunaan, pencatatan,
dan pengawasan, serta pertanggungjawaban keluar masuknya uang atau dana
organisasi.
Berdasarkan
beberapa definisi mengenai pengelolaan keuangan yang telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam
kegiatan pengelolaan keuangan
tidak terlepas dari kegiatan berupa perencanaan, penggunaan, pencatatan, dan pelaporan pertanggungjawaban
dana. Untuk lebih rinci akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Perencanaan adalah kegiatan untuk menetapkan apa
yang ingin dicapai, bagaimana mencapai, berapa lama, berapa orang yang
diperlukan, dan berapa banyak biaya,
sehingga perencanaan ini dibuat sebelum suatu tindakan dilaksanakan.
2. Penggunaan meliputi
kegiatan berupa pemasukan dan pengeluaran, baik anggaran rutin maupun pembangunan.
3. Pencatatan
atau pembukuan adalah pencatatan berbagai transaksi yang terjadi sebagai
implementasi dari penganggaran.
4. Pelaporan
dan pertanggungjawaban befungsi untuk memeriksa terutama yang ditujukan pada
berbagai masalah keuangan meliputi berbagai transaksi- transaksi yang telah
dilakukan, apakah transaksi tersebut sesuai dengan pencatatan dan perencanaan
anggaran.
2.2
Pengertian
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Berdasarkan
pengertian tersebut diatas maka salah satu unsur yang paling penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah cara pengelolaan
keuangan daerah secara berdayaguna dan berhasilguna. Hal tersebut diharapkan
agar sesuai dengan aspirasi pembangunan dan tuntutan masyarakat yang semakin
berkembang akhir-akhir ini.
Dari
aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah yang harus
diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Menurut
Abdul dan Muhammad: “Pengelolaan
Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah”[3].
Dalam
rangka pelaksanaan Keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU
No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (13) “perimbangan keuangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,transparan,dan
bertanggungjawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan, daerah serta besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantauan”[4].
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah
yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
daerah tersebut. Menurut Muindo: “Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud merupakan sub sistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan
merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”[5].
Proses pengelolaan keuangan daerah
dimulai dari:
1.
Perencanaan /
Penyusunan (APBD)
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD
berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat
untuk mencapai tujuan bernegara.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 181 dan Undang-undang no 17 tahun
2003 tentang keuangan Negara pasal 17-18, yang menjelaskan bahwa proses
penyusunan APBD harus didasarkan pada penetapan skala prioritas dan plafon
anggaran, rencana kerja pemerintah dan kebijakan APBD yang telah disepakati bersama.
Proses penyusunan RAPBD berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD
(KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
perencanaan adalah:
a. Adanya
kerangka peraturan perundangan yang komprehensif sebagaimana diamanatkan oleh
kerangka hukum nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah
b. Kerangka
peraturan perundangan daerah mencakup ketentuan untuk meningkatkan transparansi
dan partisipasi masyarakat
c. Target
anggaran layak dan berdasarkan proses penyusunan anggaran yang realistis
d. Anggaran
memihak kelompok miskin
e. Sistem
pemantauan dan evaluasi partisipatif yang komprehensif dalam proses perencanaan
dan penganggaran telah terbentuk
f. Pengendalian
Pengeluaran digunakan untuk memastikan kinerja anggaran
2.
Pelaksanaan Anggaran
Pada pemerintah pusat, pelaksanaan APBN dimulai dengan
diterbitkannya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/DIPA. Segera setelah suatu
tahun anggaran dimulai (1 Januari), maka DIPA harus segera diterbitkan untuk
dibagikan kepada satuan-satuan kerja sebagai pengguna anggaran pada
kementerian/lembaga. Seperti pada pemerintah pusat, pada pemerintah daerah juga
harus menempuh cara yang sama dengan sedikit tambahan prosedur. Setelah terbit
Peraturan Daerah tentang APBD, SKPD wajib menyusun Dokumen Pelaksanaan
Anggaran/DPA. Dengan demikian maka fleksibilitas penggunaan anggaran diberikan
kepada Pengguna Anggaran. DPA disusun secara rinci menurut klasifikasi
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja disertai indikator
kinerja. Dokumen ini disertai dengan rencana penarikan dana untuk mendanai
kegiatan dan apabila dari kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan maka
rencana penerimaan kas (pendapatan) juga harus dilampirkan.
Jika DIPA bagi kementerian/lembaga sudah dapat
dijadikan dokumen untuk segera melaksanakan anggaran Pemerintah Pusat, pada
pemerintah daerah masih diperlukan Surat Penyediaan Dana (SPD). SPD merupakan
suatu dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan. SPD
ini diperlukan untuk memastikan bahwa dana yang diperlukan melaksanakan
kegiatan sudah tersedia pada saat kegiatan berlangsung. Setelah DPA dan SPD
terbit, maka masing-masing satuan kerja wajib melaksanakan kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya.
Selanjutnya atas pelaksanaan kegiatan oleh satuan
kerja, ada dua sistem yang terkait dengan pelaksanaan anggaran, yaitu sistem
penerimaan dan sistem pembayaran.
a.
Sistem
Penerimaan
Seluruh
penerimaan negara/daerah harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara/Daerah dan
tidak diperkenankan digunakan secara langsung oleh satuan kerja yang melakukan
pemungutan (Azas Bruto). Oleh karena itu, penerimaan wajib disetor ke Rekening
Kas Umum selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Dalam rangka mempercepat
penerimaan pendapatan, Bendahara Umum Negara/Daerah (BUN/BUD) dapat membuka
rekening penerimaan pada bank. Bank yang bersangkutan wajib menyetorkan
penerimaan pendapatan setiap sore hari ke Rekening Kas Umum Negara/Daerah.
b.
Sistem
Pembayaran
Belanja
membebani anggaran negara/daerah setelah barang/jasa diterima. Oleh karena itu
terdapat pengaturan yang ketat tentang sistem pembayaran. Dalam sistem
pembayaran terdapat dua pihak yang terkait, yaitu Pengguna Anggaran/Barang dan
BUN/BUD.
Pelaksanaan anggaran dilakukan dengan mengikuti suatu
sistem dan prosedur akuntansi. Sistem ini diperlukan untuk tujuan tiga hal,
yaitu:
1)
Untuk
menetapkan prosedur yang harus diikuti oleh pihak-pihak yang terkait sehingga
jelas pembagian kerja dan tanggung jawab diantara mereka.
2)
Untuk
terselenggarakannya pengendalian intern dalam menghindari terjadinya
penyelewengan.
3)
Untuk
menghasilkan laporan keuangan pemerintah yang sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP).
Sesuai
dengan amanat undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
diperlukan suatu sistem pengelolaan Kas Negara yang mengacu kepada prinsip
pengelolaan kas yang baik. Prinsip tersebut mencakup adanya perencanaan kas
yang baik serta pemenfaatan semaksimal mungkin dana kas yang belum digunakan (idle cash).
Perencanaan
kas merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan pengelolaan Kas
Negara/Daerah yang baik. Sebagaimana diketahui bahwa unit-unit yang terkait
dengan penerimaan dan pengeluaran negara di pemerintahan pusat tersebardi seluruh
departemen dan lembaga. Keberhasilan pembuatan perencanaan kas yang baik sangat
bergantung kepada koordinasi dan dukungan dari seluruh departemen/lembaga serta
keccermatan mereka dalam pembuatan perencanaan penerimaan dan pengeluaraan
masing-masing kementerian negara/lembaga.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kas adalah:
a. Kebijakan,
prosedur, dan Pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien telah
terbentuk
b. Penerimaan
kas, pembayaran kas, serta surplus kas temporer dikelola/dikendalikan secara
efisien
c. Terdapat
sistem penagihan dan pemungutan pendapatan daerah yang efisien
d. Peningkatan
dan penanganan manajemen pendapatan
3.
Penatausahaan Keuangan
Daeah
Penatausahaan keuangan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari proses Pengelolaan Keuangan Daerah, baik menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 maupun berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Uraian tentang penatausahaan keuangan
daerah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.
Asas
Umum Penatausahaan Keuangan Daerah
Asas-asas umum Penatausahaan Keuangan Daerah menurut kedua peraturan
perundang-undangan tersebut di atas menyebutkan bahwa:
1)
Pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran, bendahara penerimaan/ pengeluaran dan orang atau badan yang menerima
atau menguasai uang/ barang/kekayaan daerah, wajib menyelenggarakan
penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2)
Pejabat yang menandatangani
dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar
pengeluaran atas beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan
akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti tersebut
3)
Semua penerimaan dan pengeluaran
dana pemerintahan daerah harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui
rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah
4)
Untuk setiap pengeluaran dana atas
beban APBD, harus diterbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) oleh Kepala
Daerah atau surat keputusan lain yang berlaku sebagai surat keputusan otorisasi
5)
Kepala Daerah, wakil kepala
daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat lainnya dilarang melakukan pengeluaran dana
atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan.
b.
Pelaksanaan
Penatausahaan Keuangan Daerah
Untuk
kepentingan pelaksanaan APBD, maka sebelum dimulainnya suatu tahun anggaran
Kepala Daerah sudah harus menetapkan pejabat-pejabat berikut ini:
1) Pejabat
yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Penyediaan Dana (SPD)
2) Pejabat
yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
3) Pejabat yang diberi wewenang untuk
menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM)
4) Pejabat yang diberi wewenang mengesahkan Surat
Pertanggungjawaban (SPJ)
5) Pejabat yang diberi wewenang untuk
menandatangani Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
6) Pejabat
fungsional untuk tugas bendahara penerimaan/pengeluaran
7) Bendahara
pengeluaran yang mengelola belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja
tak terduga, dan pengeluaran pembiayaan pada SKPD;
8) Bendahara
penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu; dan
9) Pejabat-pejabat
lainnya yang perlu ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD.
Pejabat pelaksana APBD
lainnya mencakup:
a)
Pejabat Penatausahaan
Keuangan SKPD (PPK-SKPD} yang diberi wewenang melaksanakan fungsi tata usaha
keuangan pada SKPD;
b)
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) SKPD
yang diberi wewenang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu
program yang sesuai dengan bidang tugasnya;
c)
Pejabat yang diberi
wewenang menandatangani surat bukti pemungutan pendapatan daerah;
d)
Pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani bukti penerimaan kas dan bukti penerimaan lainnya
yang sah; dan
e)
Pembantu bendahara
penerimaan dan/atau pembantu bendahara pengeluaran.
c.
Penatausahaan Penerimaan
Penatausahaan
atas penerimaan dilaksanakan dengan menggunakan buku kas, buku pembantu
perrincian objek
penerimaan dan buku rekapitulasi penerimaan harian. Sedangkan bukti penerimaan
dan atau
bukti pembayaran yang diperlukan untuk penatausahaan anggaran adalah:
1. Surat ketetapan pajak daerah
(SKP-Daerah);
2. Surat ketetapan retribusi (SKR);
3. Surat tanda setoran (STS);
4. Surat tanda bukti setoran; dan
5. Bukti penerimaan lainnya yang sah.
d.
Penatausahaan
Pengeluaran
Arti
dari pengeluaran daerah seperti
dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan terkait adalah semua arus uang
yang keluar dari kas daerah. Hal-hal yang berhubungan dengan penatausahaan
pengeluaran adalah: (i) penyediaan dana; (ii) permintaan pembayaran; (iii)
perintah membayar; (iv) pencairan dana; dan (v) pertanggungjawaban penggunaan
dana.
Pengadaan
Barang dan Jasa secara sederhana dapat saja dilakukan tanpa melibatkan banyak
pihak dan tanpa tahapan yang panjang, seperti melalui pembelian barang di
tempat yang sama dengan pembelian barang sejenis sebelumnya. Sedangkan
pengadaan barang dan jasa yang lebih kompleks dapat melibatkan banyak pihak dan
tahapan yang panjang, seperti melalui pencitraan dalam jangka panjang atau
penyediaan layanan yang berkomitmen pada satu organisasi ke organisasi lain.
Peningkatan
kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintah yang baik dan
bersih, perlu didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan
keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterrbukaan, transparansi,
akuntabel serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai
APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan
berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dan segi fisik, keuangan,
maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, peraturan Presiden tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah ini dimaksudkan untuk memberikan Pedoman pengaturan
mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan
komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik.
Pengaturan
mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Pertaturan Presiden
ini diharapkan dapat meningkatkan ikli, investasi yang kondusif, efisien
belanja negara, dan percepatan pelaksanaa APBN/APBD. Selain itu, Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang berpedoman pada Peraturan Presiden ini ditujukan
untuk meningkatkan keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha kecil,
serta menumbuhkan industeri kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa dengan
mengutamakan penggunaan industri strategi dalam negeri. Selanjutnya, ketentuan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diarahkan untuk
meningkatkan ownership pemerintah
daerah terhadap proyek/ kegiatan yang pelaksanaanya dilakukan melalui skema
pembiayaan bersama (cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Pengadaan aset daerah harus didasarkan pada prinsip ekonomi, efisiensi,
dan efektifitas (value for Money),
transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pangadaan barang daerah juga harus mengikuti ketentuan peraturan perundangan
tentangnpengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Pada saat pembelian
harus ada dokumen transaksi yang jelas mengenai tanggal transaksi, jenis aset
dan spesifikasinya, dan nilai transaksi.
Berikut
adalah prosedur pengadaan barang (aset) milik daerah:
a.
Pelaksanaan pengadaan
Barang dan Jasa dilaksanakan oleh tim dan dikoordanasi oleh fungsi perlengkapan
yang bertujuan untuk tertib administrasi dan optimalisasi pendayaguna serta
tertib inventarisasi.
b.
Pengadaan barang dapat
melalui pengadaan/pemborong pekerjaan, swakelola, hibah/sumbangan, sewa beli,
pinjaman, dan guna usaha.
c.
Prosedur pengadaan
barang dimulai dari perencanaan kebutuhan barang oleh masing-masing SKPD dan
diakhiri dengan dilaksanakannya pengadaan barang yang dibutuhkan oleh panitia
pengadaan barang.
d.
Pengadaan barang milik
daerah harus mengikuti peraturan perundangan tentang pengadaan barang dan jasa.
4.
Pelaporan Keuangan
Daerah
Sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), BPKP
membantu mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan negara dan daerah.
Akuntabilitas pelaporan keuangan negara masih memerlukan perbaikan sebagaimana
ditandai dengan masih belum diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011, demikian
juga atas 20 kementerian/lembaga (K/L) atau 23% dari total K/L, serta pada
hampir semua pemerintah daerah (pemda), yaitu 431 pemda atau 87% dari 498
pemda yang diaudit BPK. Kegiatan yang dilakukan BPKP untuk mendukung
terwujudnya akuntabilitas pelaporan keuangan meliputi antara lain :
1) Kegiatan pendampingan penyusunan laporan keuangan
K/L/pemda,
2) Reviu laporan keuangan K/L/pemda sebelum diaudit oleh
BPK,
3) Menindaklanjuti hasil temuan BPK,
4) Pendampingan perbaikan sistem pelaporan,
5) Implementasi Sistem Informasi Manajemen Daerah
(SIMDA),
6) Sosialisasi, pembentukan satgas, dan workshop SPIP,
dan
7) peningkatan kapasitas SDM pengelolaan keuangan daerah
dan APIP
Hal-hal
yang harus diperhatkan dalam Akuntansi dan pelaporan adalah:
a. Adanya
kapasitas SDM dan Kelembagaan yang memadai untuk fungsi akuntansi dan keuangan
b. Sistem
informasi akuntansi dan manajemen sudah terintegrasi
c. Seluruh
transaksi dan saldo keuangan pemerintah daerah dicatat serta akurat dan tepat
waktu
d. Terdapat
laporan keuangan dan informasi manajemen yang dapat diandalkan
5.
Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan
APBN/APBD, baik dalam bentuk laporan keuangan (financial accountability) maupun laporan kinerja (performance accountability). Laporan keuangan
disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
sedangkan Laporan Kinerja disusun sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang Laporan Kinerja instansi pemerintah.
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN/APBD berupa
laporan keuangan. Laporan keuangan yang disampaikan ke DPR/DPRD adalah laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK. Laporan keuangan yang telah diaudit ini
selambat-lambatnya disampaikan kepada DPR/DPRD selambat-lambatnya 6 bulan
setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan tersebut setidak-tidaknya
terdiri dari :
1.
Laporan Realisasi Anggaran,
2.
Neraca,
3.
Laporan Arus Kas, dan
4.
Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan sebagaimana di atas disampaikan ke
DPR/DPRD dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan keuangan
selama satu tahun anggaran. Selain laporan keuangan tersebut, juga dilampirkan
ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan satuan kerja lainnya
yang pengelolaanya diatur secara khusus, seperti: Badan Layanan Umum (BLU).
Diantara
pengelolaan pemerintah yang baik adalah terciptanya efektifitas kerja dan
optimalisasi fungsi, tumbuh baiknya tata kelola keuangan dan aset, keterbukaan
informasi publik dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta pengawasan
yang terkendali. Hal ini menjadi tujuan mulia untuk perli di wujudkan dan terus
ditingkatkan agar upaya perbaikan maupun solusi dalam menghadapi setiap
permasalahan yang berkaitan dengan tata kelola keuangan dan aset pemerintah
daerah menjadi lebih baik, teratur dan terukur.
Aset
daerah adalah semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai
pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari
pengelolaan lainnya yang sah, misalnya sumbangan, hadiah, donasi, wakaf, hibah,
swadaya, kewajiban pihak ketiga, dsb. Secara umum aset daerah dapat
dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu aset keuangan dan aset nonkeuangan.
Aset keuangan meliputi kas dan setara kas, piutang, serta surat berharga baik
berupa investasi jangka pendek maupun jangka panjang. Aset non keuangan
meliputi aset tetap, aset lainnya, dan persediaan.
Aset
daerah dalam laporan keuangan pemrintah daeah akan ditampilkan di neraca, yaitu
pada sisi aset atau aktiva. Aset daerah sebagaimana yang ditampilkan dalam
neraca pemerintah daerah bersifat carry-over,
artinya akan dilaporkan terus di neraca selama aset tersebut masih ada.
Informasi aset sebagaimana disajikan dalam neraca sangat penting untuk
mengetahui ukuran organisasi, pertumbuhan aset, dan komposisi aset. Berdasarkan
informasi aset dapat dihitung tingkat likuditas, solvabilitas, rentabilitas,
dan rasio-rasio keuangan. Selain itu, informasi tentang aset juga sangat
bermanfaat untuk membuat pemetaan aset daerah (assets mapping) dalam rangka optimalisasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
Pengelolaan aset adalah:
a. Terdapat
prosedur dan mekanisme untuk memastikan efektifitas tata kelola BUMD
b. Ditetapkan
dan dilaksanakannya kebijakan, prosedur, dan pengendalian mengenai perolehan
aset dan pengelolaan aset tetap yang dimiliki secara efektif
c. Basis
informasi pendukung pengelolaan aset ditetapkan dan dipelihara
d. Pengelolaan
aset dihubungkan dengan perencanaan dan penganggaran (APBD)
6.
Pengawasan Keuangan
Daerah
Pada era reformasi ini berbagai peraturan
perundang-undangan terkait dengan reformasi di bidang pengelolaan keuangan
negara dan otonomi daerah juga berimplikasi terhadap sistem pengawasan atas
pengelolaan keuangan negara. Misalnya dalam penjelasan UU No. 15 Tahun 2004
yang antara lain dinyatakan bahwa untuk mewujudkan perencanaan yang
komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP). Hal ini memperlihatkan strategisnya peran pengawasan sistem
pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), APIP juga
berfungsi untuk memperkuat dan menunjang efektivitas SPIP, sehingga dalam hal
ini APIP dapat melakukan pengawasan intern melalui:
a)
Audit,
adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan
secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan
keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Audit
internal terbagi atas dua jenis, yaitu:
1)
Audit
kinerja, merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas
dan fungsi Instansi Pemerintah yang menilai aspek kehematan, efisiensi, dan
efektivitas.
Audit
kinerja atas pengelolaan keuangan negara antara lain:
(1)
Audit atas penyusunan dan pelaksanaan anggaran;
(2)
Audit atas penerimaan, penyaluran, dan penggunaan dana; dan
(3)
Audit atas pengelolaan aset dan kewajiban.
Sedangkan
audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi antara lain audit atas
pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan.
2)
Audit
dengan tujuan tertentu, mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja,
antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas
hal-hal lain di bidang keuangan.
b)
Review,
adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana,
atau norma yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan
pemerintah, APIP berfungsi untuk melakukan review laporan keuangan pemerintah
baik Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian
Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebelum
diserahkan kepada BPK untuk diperiksa.
c)
Evaluasi,
adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan
dengan standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan
dalam mencapai tujuan.
d)
Pemantauan,
adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
e)
Kegiatan
pengawasan lainnya, antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan,
pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultansi, pengelolaan
hasil pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan.
Kegiatan audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan
merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan penjaminan kualitas (quality
assurance) penyelenggaraan fungsi pemerintah.
APBD mempunyai fungsi otoritasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi distribusi, dan stabilitasasi. APBD, perubahan
APBD, dan pertangungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Dilihat
dari aspek masyarakat (customer)
dengan adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik maka dapat meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintah yang baik, hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bekerja secara lebih
efisien dan efektif terutama dalam menyediankan layanan prima bagi seluruh
masyarakat. Dilihat dari sisi pengelolaan keuangan daerah khususnya Pendapatan
Asli Daerah (PAD) maka kontribusi terhadap APBD meningkat tiap tahun anggaran
hal ini didukung pula dengan tingkat efektivitas dari penerimaan daerah secara
keseluruhan sehingga adanya kemauan dari masyarakat untuk membayar kewajibannya
kepada pemerintah daerah dalam bentuk pajak dan retribusi.
2.3
Tujuan
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan Daerah berarti mengurus
dan mengatur keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan daerah adalah:
a. Tanggung
Jawab (accountability)
Pemerintah
daerah harus mempertanggungjawabkan keuanganya kepada lembaga atau kepada orang
yang berkepentingan yang sah, lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan
masyarakat umum.
Adapun
unsur-unsur penting dalam tanggung jawab adalah mencakup keabsahan yaitu setiap
transaksi keuangan harus pada wewenang hukum tertentu dan pengawasan yaitu tata
cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang serta menjaga
terjadinya penghamburan dan penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang
sah benar-benar terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaanya.
b. Mampu
memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah
harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua
kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun
pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
c. Kujujuran
Hal-hal yang
menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada
pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.
d. Hasil
guna (Efektif) dan daya guna (Efesien)
Merupakan tata
cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan
program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah
daerah dengan dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang
secepat-cepatnya.
e. Pengendalian
Para aparat pengelola keuangan
daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua
tujuan tersebut dapat tercapai.
2.4 Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD)
Pada pemerintah daerah diatur dengan membaginya menjadi pengurusan umum
dan pengurusan khusus. Dengan demikian pada pemerintah daerah terdapat Anggaran
Pendapatan dan belanja Daerah.
` APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana
pelaksanaan semua Pendapatan
Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka
pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu.
Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang
ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang
membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai
jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Menurut Deddi
Nordiawan: “APBD merupakan rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetakan
dengan peraturan daerah”[6].
Angggaran
Daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya
pendapatan dan pengeluaran, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, alat otoritas pengeluaran dimasa yang akan datang.
Sumber-sumber Pendapatan Daerah
terdiri atas:
a.
Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
1) Hasil
Pajak Daerah;
2) Hasil
Retribusi Daerah;
3) Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4) Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah.
b.
Dana Perimbangan
c.Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang
sah
2.3.1 Struktur
APBD
Setelah keluarnya kebijakan ekonomi daerah, maka
timbul konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk
dalam srtuktur APBD. Kini struktur APBD mengalami perubahan bukan lagi anggaran
berimbang seperti Sebelumnya, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan
daerah. Artinya setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan
kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing.
Srtuktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri atas
pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan.
1. Pendapatan
Daerah
Pendapatan
daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok
pendapatan meliputi PAD, DAU/DAK, dan lain-lain pendapatan yang sah dan jenis
pendapatan meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, DAK, DAU.
Pendapatan Asli Daerah dikelompokkan
sebagai berikut:
1.
Pendapatan
Asli Daerah
Kelompok Pendapatan Asli Daerah dibagi menurut jenis
pendapatan yang terdiri atas:
a.
Pajak
Daerah
b.
Retribusi
Daerah
c.
Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
d.
Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
2.
Dana
Perimbangan
Dana Perimbangan dibagi menurut jenis Pendapatan:
a.
Dana
Alkasi Hasil
b.
Dana
Alokasi Khusus
c.
Dana
Alokasi Umum
3.
Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dibagi menurut
jenis pendapatan yang mencakup:
a.
Hibah
berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lainya, Badan/Lembaga atau
Organisasi.
b.
Dana
Darurat dari Pemerintah dalam rangka penanggulangan korban akibat bencana alam
c.
Dana
Bagi Hasil Pajak dari Provinsi kepada Kabupaten
d.
Dana
Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah
2. Belanja
Daerah
Belanja
Daerah merupakan semua kebijakan daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 bahwa:
”Belanja adalah semua
pengeluaran dari Rekening Umum Negara/Daerah yang emngurangi ekuitas dana
lancer dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh
pembayaranya kembali oleh pemerintah”[7].
Berdasarkan
Permendagri No. 13 Tahun 2006, Belanja Daerah menurut kelompok belanja terdiri
dari:
1.
Belanja
Tidak Langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang
terdiri dari:
a.
Belanja
Pegawai
b.
Bunga
c.
Subdisi
d.
Hibah
e.
Bantuan
social
f.
Belanja
Bagi Hasil
g.
Bantuan
Keuangan
h.
Belanja
Tidak Terduga
2.
Belanja
Langsung
Belanja
langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung menurut jenis
belanja yang terdiri dari:
a.
Belanja
Pegawai
b.
Belanja
Barang dan Jasa
c.
Belanja
Modal
3. Pembiayaan
Dalam
setiap penyusunan APBD, ketiga komponen harus selalu dalam posnya masing-masing
yakni Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah
yang sah. Akan tetapi, bagaimana kondisi APBD suatu daerah defisit atau
surplus, tergantung pada kapasitas pendapatan daerah yang bersangkutan.
Pembiayaan
dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber yang merupakan penerimaan
daerah, antara lain sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan dan
obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan.
Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran, antara lain pembiayaan
utang pokok.
Menurut Tulis S. Meilala, dkk:
Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi
keuangan pemerintah, baik penerima maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau
yang akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah terutama
dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran”[8].
Berdasarkan pengertian keuangan daerah menyebutkan
dahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah mempunyai hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, Maka Pemerintah daerah memerlukan suatu rencana keuangan
setiap tahunya, yaitu dengan penyusunan APBD.
Dalam penyusunan
APBD, strukturnya mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan
pemerintahan dan peraturan yang megaturnya. Menurut Nurlan Darise: ”Srtuktur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dibagi menjadi pendapatan, belanja, dan Pembiayaan”[9].
Pendapatan
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain
pendapatan. Belanja diklasifikasikan menjadi belanja aparatur dan belanja
publik. Kemudian dikelompokkan lagi menjadi belanja administrasi dan umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, belanja.
2.5
Fungsi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Berdasarkan
ketentuan dalam pasal 3 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara,
fungsi APBD adalah sebagai berikut:
- Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan, dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan.
- Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
- Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah.
- Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi, dan efektifitas perekonomian daerah.
- Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan, dan kepatutan.
- Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara, dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2.6 Prinsip-prinsip
Penyusunan Anggaran Daerah
Prinsip-prinsip
dasar (azas) yang berlaku dibidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku
juga dalam pengelolaan Anggaran Negara/Daerah sebagaimana bunyi penjelasan
dalam UU No. 17 Tahun
2003 tentang keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004
tentang pemberdayaan Negara, yaitu:
- Kesatuan : Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
- Universalitas : Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
- Tahunan : Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu.
- Spesialitas : Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
- Akrual : Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas.
- Kas : Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah.
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan
belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan
16 dalam UU No.
17 Tahun 2003,
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
2.7 Kinerja
Pengelolaan Keuangan Daerah
Tahap
setelah operasionalisasi anggaran adalah pengukuran kinerja untuk menilai
prestasi manajer dan unit organisasi yang dipimpinnya. Akuntabilitas bukan
sekedar kemampuan menunjukan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi
meliputi kemampuan menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan
secara ekonomis, efisien dan efektif.
Menurut praturan Menteri dalam
Negeri No. 21 Tahun 2011 menyatakan bahwa “kinerja
adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah tercapai
ehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur”[10].
Kinerja(performance) dapat diartikan sebagai
aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian
dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Menurut Ihyaul Ulum MD, Pengukuran Kinerja
adalah :
“Cara untuk mempertahankan prestasi berbagai pekerjaan dan pelayanan yang
dilakukan pemerintah. Pengukuran kinerja membantu pemerintah daerah dalam
menentukan tingkatan pencapaian tujuan”[11].
Bentuk dari
pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari
unsure-unsur laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah Perhitungan APBD. Kinerja
merupakan suatu prestasi atau tingkat keberhasilan yang dicapai oleh individu
atau suatu organisasi dalam melaksanakan pada suatu periode tertentu.
Kinerja(Amstrong dan Baron, 1998:15) adalah: “Hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi”[12].
Dalam konteks organisasi pemerintah
daerah, pengukuran kinerja SKPD dilakukan untuk menilai seberapa baik SKPD
tersebut melakukan tugas pokok dan fungsi yang dilimpahkan kepadanya selama
periode tertentu.
Kinerja pemerintah daerah bukan
dilihat dari seberapa besar laba yang diperoleh maupun seberapa ketat
penggunaan dana, melainkan dari dampak yang diberikan atas program dan kegiatan
yang telah dilakukan. Untuk mengetahui apa saja yang diberikan oleh organisasi
seperti pemerinyah daerah tidak bisa dilihat dari laporan keuangan.
2.8 Kriteria Pengukuran Efektifitas Kinerja
Pengukuran Pengelolaan Keuangan Daerah
Kerangka pengelolaan publik (selanjutnya disingkat jadi
PKP) merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran kinerja
pemerintah daerah. Pilar-pilar lainya adalah pemberian layanan publik, iklim,
investasi, dan kesehatan fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang
ini, penilaian yang sistematis terhadap pemerintah daerah dapat dilakukan.
Kerangka PKP dibuat untuk memfasilitasi penelitian dan
analisis kapasitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah. Pengetahuan ini
memiliki beberapa aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan kepada
pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan penilaian yang
akurat dan independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan mereka sendiri
dan dapat berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang menjadi kelemahan
mereka. Diharapkan dengan adanya penelitian ini di Pemerintahan Daerah dapat
mengetahui kelemahan dalam pengelolaan keuangan, sehingga kedepanya Pemerintah
daerah diharapkan dengan kinerja yang bagus dapat diberikan pengharapan berupa
tambahan pendapatan melalui dana otonomi khusus untuk mendorong perbaikan yang
lebih jauh. Hal ini dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi untuk
memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas
pengelolaan keuangan mereka.
Kerangka ini dimaksudkan untuk
menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah, apakah sudah efektif
atau tidak efektif, yang terbagi menjadi Sembilan bidang strategis yang utama
untuk pengelolaan publik:
1.
Kerangka
Peraturan Perundangan Daerah
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
memuat tentang evaluasi dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) tahun lalu, rancangan kerangka ekonomi daerah, program
prioritas pembangunan daerah, serta pikiran pagu indikatif dengan
mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif.
Efesiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah daerah sangat ditentukan oleh
baik buruknya manajemen pemerintahan, termasuk kualitas perencanaan sebagai
salah satu fungsi didalam manajemen. Oleh karena itu, peraturan perundangan
tentang perencanaan, sedemikian rupa, sehingga mampu menangkap setiap perubahan
paradigm yang berkembang.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka penyusunan RKPD dilaksanakan melalui
mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) melalui forum secara
berjenjang mulai tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota dan
tingkat provinsi, dimana seluruh tingkat komponen daerah (Pemerintah Kabupaten,
DPRD, Dana Usaha Swasta, Perguruan Tinggi dan Masyarakat), dituntut memberikan
peranan secara nyata dan aktif. Sehingga pada akhirnya dokumen perencanaan yang
dibuat bersama-sama menjadi milik bersama untuk dilaksanakan bersama oleh
seluruh komponen tadi sesuai dengan fungsinya.
Selanjutnya
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), juga merupakan pedoman dalam menyusun
Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dengan memperhatikan Rencana Strategis di
masing-masing SKPD. Rancangan KUA tersebut akan dilengkapi dengan dokumen
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dimana rincian setiap program
dan kegiatannya berasal dari Rencana Kerja (Renja) SKPD yang merupakan turunan
dari RKPD. Setelah rancangan KUA dan PPAS tersebut dibahas dan disepakati
bersama antara Pemerintah Provinsi dengan DPRD Provinsi, maka Rencana Kerja
Anggaran (RKA) SKPD telah dapat disusun berdasarkan Prioritas dan Plafon
Anggaran (PPA) untuk masing-masing program dan kegiatan sebagai penyusunan
pengantar nota keuangan APBD yang nantinya akan menjadi bahan Pembahasan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
2.
Perencanaan
dan Penganggaran
Menurut
Robbins dan Coulter, 2002 dalam buku Indra Bastian, perencanaan adalah:
“Proses yang dimulai dari penetapan tujuan organisasi, yaitu menentukan
strategi untuk pencapaian tujuan secara menyeluruh serta merumuskan sistem
perencanaan perencanaan yang mnyeluruh untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan seluruh pekerjaan organisasi, hingga tercapainya tujuan
organisasi”[13].
Perencanaan pembangunan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan
perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang,Rencana Pemerintah
Jangka Menengah (RPJM daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra
SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Meskipun demikian, mengatur kembali sistem
perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam UU 25/2004 sebelumnya,
sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Sementara UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas
pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping
mengatur penyusunan APBD.
3.
Pengelolaan
Kas
Sesuai dengan amanat UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
diperlukan suatu sistem pengelolaan Kas Negara yang memacu kepada prinsip
pengelolaan kas yang baik. Prinsip tersebut mencakup adanya perencanaan kas
yang baik serta pemanfaatan semaksimal mungkin dana kas yang belum digunakan (idle cash).
Perencanaan
kas merupakan
4.
Pengadaan
Barang dan Jasa
Peningkatan
kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
bersih, perlu didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penggunaan keuangan Negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam
proes Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga
diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun menfaatnya bagi
kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan msyarakat. Sehubungan dengan hal
tersebut, Peraturan Presiden tentang pengadaan Barang/jasa Pemerintah ini
dimaksudkan untuk memberikan pedoman pengaturan mengenai tata cara pengadaan
barang/jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola
yang baik.
Pengaturan mengenai pengadaan
barang/jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diharapkan dapat
mengharapkan iklim investasi yang kondusif, effisiensi belanja Negara, dan
pencepatan pelaksanaan APBN/APBD. Selain itu, pengadaan barang/jasa Pemerntah
yang berpedoman pada peraturan Presiden ini ditujukan untuk meningkatkan
keberpihakan terhdap industry kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa dengan
mengutamakan penggunaan industri strategis dalam negeri. Selanjutnya, ketentuan
Pengadaan Barang/jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diarahkan untuk
meningkatkan ownership Pemerintah
daerah terhadap proyek/kegiatan yang pelaksanaanya dilakukan melalui skema
pembiayaan bersama (confinancing)
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengadaan asset daerah harus
didasarkan pada prinsip ekonomi, efisiensi, dan efektifitas (value for money), transparan dan
terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pengadaan barang
daerah juga harus mengikuti ketentuan peraturan perundangan tentang pengadaan
barang dan jasa instansi pemerintah. Pada saat pembelian harus ada dokumen
transaksi yang jelas mengenai tanggal transaksi, jenis aset dan spesifikasinya,dan nilai
transaksi.
a.
Pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa dilaksankan oleh tim dan dikoordinasikan oleh fungsi
perlengkapan yang bertujuan untuk tertib administrasi dan optimalisasi
pendayagunaan serta tertib inventarisasi.
b.
Pengadaan
barang dapat melalui pengadaan/pemborong pekerjaan, swakelola, hibah/sumbangan,
sewa beli, pinjaman dan guna usaha.
c.
Prosedur
pengadaan barang dimulai dari perencanaan kebutuhan barang oleh masing-masing
SKPD dan diakhiri dengan dilaksanaanya pengadaan barang yang dibutuhkan oleh
panitia pengadaan barang.
d.
Pengadaan
barang milik daerah harus mengikuti peraturan perundang-undangan tentang
pengadaan barang dan jasa.
5.
Akuntansi
dan Pelaporan
Pada
prinsipnya setiap penerimaan pendapatan harus segera disetor ke rekening kas
umum daerah pada hari itu juga atau paling lambat sehari setelah diterimanya
pendapatan tersebut. Selanjutnya penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam
buku akuntansi, berupa jurnal penerimaan kas, buku pembantu, buku besar kas,
dan buku penerimaan perincian objek pendapatan. Kemudian buku catatan akuntansi
tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam laopran keuangan pemerintah
daerah, yaitu laporan realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas.
Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa pemerintah daerah telah membangun
sistem akuntansi pendapatan yang abik, sehingga tidak ada pendapatan daerah
yang tidak dicatat dalam sistem akuntansi Pemda. Pemerintah Daerah mempunyai
kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang
dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan tersturuktur dalam
suatu periode pelaporan untuk kepentingan:
1)
Akuntabilitas
Mempertanggungjawabkan
pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada
Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.
2)
Manajemen
Membantu
para pengguna laporan keuangan unutk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan
Pemerintah Daerah dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi
perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban, dan
ekuitas dana Pemerintah Daerah untuk kepentingan masyarakat.
3)
Transparansi
Memberikan
informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan
bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh
atas pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya yang
dipercayakan kepadanya dan ketaatanya pada peraturan perundang-undangan.
4)
Keseimbangan
antargenerasi (Intergenerational equity)
Membantu
para pengguna laporan untuk mengetahui apakah penerimaan Pemerintah Daerah pada
periode laporan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang telah
dialokasikan dan apakah generasi yang akan dating diasumsikan akan ikut
menanggung beban pengeluaran terebut.
6.
Audit
Internal
Menurut
institute of internal auditors (IIA) yaitu perhimpunan para pemeriksa intern di
Amerika, Pemeriksaan Audit atau Audit Internal adalah:
“Aktivitas pengujian yang memberikan keandalan/jaminan yang indenpenden dan
objektif serta aktivitas konsultasi yang dirancang untuk memberikan nilai
tambah dan melakukan perbaikan terhadap operasi organisasi”[14].
Untuk memperkuat struktur pengendalian manajemen pemerintah maka
pemberdayaan peran dan fungsi audit internal menjadi suatu hal yang mutlak
untuk direalisasikan. Selanjutnya, jelas dan terarahnya peran dan fungsi audit
internal dalam suatu organisasi secara tidak langsung juga akan meningkatkan afektivitas
pelaksanaan audit oleh auditor eksternal. Disamping kedua faktor tersebut,
adanya kerjasama yang harmonis diantara jajaran audit internal dan audit
eksternal juga akan lebih melapangkan jalan dalam pencapaian tujuan dari fungsi
audit dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, adil, dan bersih. Semakin
maningatnya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan yang bersih, adil,
transparan, dan akuntabel harus disikapi dengan serius dan sistematis. Segenap
jajaran penyelenggaraan negara, baik dalam tataran eksekutif, legislative, dan
yudikatif harus memiliki komitmen bersama untuk menegakkan good governance dan clean
government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pusat dan daerah telah
mencanangkan sasaran untuk meningkatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat
dengan arah kebijakan penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).
7.
Hutang dan
Insvestasi Publik
Manajemen
hutang dan insvestasi memerlukan perencanaan yang baik karena hutang dan
insvestasi mengandung resiko yang dapat merugikan. Dalam kerangka ekonomi
daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengadakan hutang meskipun
untuk dapat melakukan hal itu harus memenuhi beberapa ketentuan perundangan.
Demikian pula halnya dengan investasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan
yang luas untuk memilih instrument investasi daerah. Menurut Mahmudi, Manajemen
hutang daerah merupakan: “Suatu proses
penyusunan dan pengimplementasian strategi pengelolaan hutang pemerintah daerah
yang terkait dengan upaya memperoleh dana pinjaman pada tingkat resiko
terkendali dan biaya terendah serta menggunakan pinjaman tersebut secara
efisien dan efektif”[15].
Hutang daerah adalah salah satu komponen pembiayaan APBD dan harus
dilaporkan dalam neraca pemerintah daerah. Hutang daerah yang tidak dikelola
dengan baik bisa menimbulkan masalah serius bagi perekonomian daerah. Namun
jika pemerintah daerah dapat mengeloa hutang dengan baik, maka hutang dapat
digunakan sebagai stimulus pembangungan yang berdampak positif
terhadapperekonomian. Ada beberapa prosedur hutang daerah yaitu:
a.
Setiap
hutang daerah wajib mendapatkan persetujuan DPRD, kecuali pinjaman jangka
pendek dalam rangka manajemen kas.
b.
Berdasarkan
persetujuan DPRD, daerah mengajukan hutang kepada calon pemberi.
c.
Setiap
hutang daerah dituangkan dalam Surat Perjanjian Hutang antara daerah dan
pemberi hutang yang ditanda tangani oleh Kepala Daerah atas nama daerah dan
pemberi hutang.
d.
Setiap
perjanjian yang dilakukan oleh daerah diumumkan oleh lembaran daerah.
Untuk
menjamin kesinambungan pembangunan daerah dan keuangan daerah, pemerintah
daerah perlu melakukan investasi. Investasi daerah adalah pengeluaran daerah
yang dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan dimasa yang akan yang dating.
Terdapat tiga tujuan utama
dilakukanya investasi daerah, yaitu:
a.
Untuk
memperoleh keuntungan investasi
b.
Untuk
keamanan asset daerah
c.
Untuk
optimalisasi manajemen kas dan menjaga likuiditas keuangan
Dalam
melakukan investasi pemerintah tidak seperti perusahaan swasta. Investasi
pemerintah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, mengenai bentuk, sifat
dan jenis-jenisnya. Investasi dapat dilakukan untuk jangka pendek dan jangka
panjang. Investasi jangka pendek dilakukan untuk memanfaatkan kas daerah yang
masih menganggur atau belum digunakan sampai jangka waktu tertentu, menjaga
keamanan kas, serta untuk memperoleh keuntungan untuk investasi. Investasi
jangka panjang merupakan instrumen
pembiyaan anggaran yang dalam jangka pendek digunakan untuk
mengalokasikan surplus anggaran dan jangka panjangnya untuk meningkatkan
pendapatan daerah serta menjaga kesinambungan fiskal daerah.
Investasi daerah harus memenuhi aspek legalitas, misalnya undang-undang,
peraturan daerah tentang pokok pengelolaan keuangan daerah. Untuk investasi
jangka panjang harus mendapat persetujuan DPRD, sedangkan investasi jangka
pendek dalam rangka manajemen kas tidak harus melalui persetujuan DPRD tetapi
harus mengacu kebijakan manajemen investasi daerah.
8.
Pengelolaan
Aset
Diantara pengelolaan yang baik adalah terciptanya efektifitas kerja dan
optimalisasi fungsi, tumbuh baiknya tata kelola keuangan dan aset, keterburukan
informasi publik dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta pengawasan
yang terkendali. Hal ini menjadi tujuan mulia untuk perlu diwujudkan dan terus
ditingkatkan agar upaya perbaikan maupun solus dalam menghadapi setiap
permasalahan yang berkaitan dengan tata kelola keuangan dan aset pemerintah
daerah menjadi lebih baik, teratur dan terukur.
Aset daerah adalah semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai
pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari
perolehan lainya yang sah, misalnya sumbanagn , hadiah, donasi, wakaf, hibah,
swadya, kewajiban pihak ketiga, dan sebagainya. Secara umum aset daerah dapat
dikategorikan dibagikan jadi dua bentuk, yaitu aset keuangan dan aset non
keuangan. Aset keuangan meliputi aset setara kas, piutang, serta surat berharga
baik berupa investasi jangka pendek maupun maupun jangka panjang. Aset non
keuangan meliputi aset tetap, aset lainya dan persediaan.
Aset daerah dalam laporan keuangan pemerintah akan ditampilkan di neraca,
yaitu pada sisi aset atau aktiva. Aset daerah sebagaimana yang ditampilkan
dalam neraca pemerintah daerah bersifat carry-over,
artinya akan dilaporkan terus di neraca selama aset tersebut masih ada.
Informasi aset sebagaimana disajikan dalam neraca sangat penting untuk
mengetahui ukuran organisasi, pertumbuhan aset, dan komposisi aset. Berdasarkan
informasi aset dapat dihitung tingkat likuiditas, solvabilitas, rentabilitas,
dan rasio-rasio keuangan. Selain tiu, informasi tentang aset juga sangat
bermanfaat untuk membuat pemetaan aset daerah (asset maping) dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aset.
9.
Eksternal
dan Pengawasan
Pemerintah
sebagai pihak yang diberikan amanat ntuk mengelola keuangan Negara harus
melaporkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara kepada publik yang
diwakili oleh DPR/DPD/DPRD. Pengawasan ekstern yaitu pengawasan yang dilakukan
satuan unit pengawasan yang berada diluar organisasi yang diawasi, dan tidak
mempunyai hubungan kedinasan. Pengawasan ekstern ini menurut undang-undang
Negara Republik Indonesia 1945 adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Pengawasan ekstern selain dilakukan oleh BPK, juga dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan masyarakat.menurut Ihyaul Ulum M.D: “Audit eksternal dilakukan dengan tujuan
untuk memberikan pernyataan profesional mengenai tingkat kelayakan dan
keandalan informasi dan laporan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
manajemen/pemerintah kepada organisasi/masyarakat, sedangkan output samplingnya
adalah pemberian rekomendasi atas temuan pemeriksaan”[16].
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan badan pengawas tertinggi dalam hal Keuangan
Negara, sebagaimana diatur dalam Bab VIIIA Pasal 2E s/d Pasal 23F UUD Negara
Republik Indonesia 1945. Kedudukan Badan Pemeriksaan Keuangan diatur lebih lanjut
dengan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan. Menurut
ketentuan pasal 2 UU No. 15 Tahun 2006, BPK merupakan satu lembaga negara yang
bebas dan mandiiri dalam memeriksa pengelolaan keuangan dan tanggungjawab
keuangan negara.
Tugas BPK
adalah memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
BPK sesuai fungsinya
memeriksa, menguji, dan menilai penggunaan keuangan APBD, apakah APBD digunakan
sesuai dengan tujuan penganggaranya atau tidak. BPK melakukan pengawasan
penggunaan APBD dalam tahun berjalan. Hasil pemeriksaan BPK dilaporkan kepada
DPR untuk pengelolaan keuangan daerah. Dilihat dari tugas dan fungsinya, yakni
sama-sama melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan
negara. Dengan tugas yang demikian maka terkesan bahwa tugas dan fungsi BPK
sama dengan tugas dan fungsi BPKP70.
Sementara
pengawasan DPRD dikenal dengan pengawasan politik, yakni pengawasan terhadap
pemerintah/daerah sesuai dengan tugas, wewenang, dan haknya. Pengawasan DPR
dilakukan melalui dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan panitia khusus,
dan pembentukan panitia kerja sebagaimana diatur dalam tertib dan peraturan
perundang-undangan. DPR melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
daerah, pelaksanaan kerjasama internasional daerah. DPRD melakukan pengawasan
melalui pemandangan umum fraksi-fraksi dalam rapat paripurna, rapat pembahasan
dalam siding komisi, rapat pembahasan dalam panitia-panitia yang dibentuk
berdasarkan tata tertib DPRD, rapat dengar pendapat pemerintah daerah dan
pihak-pihak lain yang diperlukan, kunjungan kerja.
Sedangkan pengawsan yang dilakukan oleh masyarakat dikenal dengan
“pengawasan masyarakat” (Wasmas). Pengawasan masyarakat diperlukan dalam
mewujudkan peran serta masyarakat guna menciptakan penyelenggaraan pemerintah
yang efektif, efisien, dan bebas dari korupsi, kolusi serta nepotisme.
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilakukan melalui pengaduan atas dugaan terjadinya pentimpang atau
penyalahgunaan kewenangan pemerintahan. Pengawasan masyarakat tersebut diatur
dalam Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan
Masyarakat di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.
Setiap
bidang strategis terdiri atas satu hingga lima hasil, dan sebuah daftar
indikator diberikan untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian
yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator-indikator digunakan
untuk menilai sejauh mana pemerintah daerah Kabupaten Samosir telah berhasil
mencapai hasil-hasil ini.
2.9 Penelitian Terdahulu
Thesauriyanto
(2007) dalam pene;itianya Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah terhadap
Kemandirian Daerah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabel jumlah
transfer pemerintah pusat mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
PAD Provinsi Jawa Tengah. Jumlah transfer pemerintahan pusat walaupun secara
tidak langsung mempengaruhi signifikan terhadap PAD, serta menunjukan bahwa
jumlah kendaraan roda empat atau lebih mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap PAD Provinsi Jawa Tengah.
Margareth
Simanjuntak (2010) dalam penelitianya Analisis Pengukuran Kinerja Pengelolaan
Keuangan Pemerintah Kabupten Simalungun. Hasil studi menunjukan bahwasanya
kinerja pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Simalungun relatif baik,
kecuali pada indikator dalam bidang: Kerangka peraturan perundangan daerah pada
indikator adanya kerangka peraturan
perundangan daerah yang komprehensif sebagaimana diamanatkan dalam
kerangka hokum nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah. Indikator ini
hanya mencapai skor sebesar 75% dan dinilai kurang efektif.
2.10 Kerangka Konseptual
Kabupaten Samosir merupakan salah
satu kabupaten diwilayah Provinsi Sumatera Utara. Analisis Pengelolaan Keuangan
Daerah Pemerintah di Kabupaten Samosir dibutuhkan untuk mengetahui tingkat
kebutuhan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan anggaran, serta sebagai
bahan masukan bagi Pemerintah itu sendiri untuk perumusan kebijakan keuangan
daerah dimasa mendatang yang akuntabel. Sehingga dapat mengetahui faktor-faktor
tersebut, pengelolaan serta penggunaan anggaran daerah Kabupaten Samosir dapat
benar-benar diarahkan ke sektor-sektor yang secara potensial dapat mendorong
percepatan pembangunan daerah dan menciptakan pengembangan wilayah.
Untuk Kabupaten Samosir diharapkan
dapat terus meningkatkan pengelolaan keuangan dan akuntabilitas, hal ini
mengakibatkan pemerintah daerah segera merespon perubahan yang diinginkan oleh
masyarakat sebagai stakeholder. Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diharapkan memiliki kinerja yang baik yang
menunjukkan stewardship dan
akuntabilitas mereka terhadap sumber daya masyarakat yang dikelolanya. Agar
Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir dapat menjalankan operasinya dengan baik
dan mempu memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang
sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah agar peningkatan dan perbaikan
pemerintah daerah dapat dilakukan secara berkesinambungan.
2.11 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis maka dalampenelitian ini diajukan hipotesis
sebagai berikut:
1.
Pengelolaan
Keuangan Pemerintah kabupaten Samosir efektif.
2.
Pengelolaan
Keuangan Pemerintah kabupaten Samosir tidak efektif.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Objek Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Pemerintahan Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara yang
beralamat di Jl. Raya Rianiate, Kecamatan Pangururan. Untuk mengetahui sejauh
mana pengelolaan keuangan anggaran di Kabupaten Samosir digunakan secara
efektif. Penelitian ini menggunakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
sebagai unit analisis dari Pemerintah Kabupaten Samosir sehingga dapat
dijadikan sebagai informan untuk melakukan pencarian data secara primer. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara
langsung dengan Kepala Bagian Keuangan dalam hal ini Kepala Sub Bagian Anggaran
dan kepada Dinas Pendapatan Daerah. SKPD yang
terpilih sebagai unit analisis adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah (DPPKAD). Pemilihan unit analisis tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan data yang diperlukan.
3.2
Desain Penelitian
a. Data primer: yaitu data yang diperoleh dengan
cara melakukan penelitian langsung ke lapangan duna memperoleh atau
mengumpulkan keterangan untuk selanjutnya diolah sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Dalam penelitian ini data primer yang digunakan terdiri dari hasil
kuisoner yang dibagikan kepada Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten
Samosir.
b. Data
sekunder: yaitu data yang diolah sehingga menjadi lebih informative dan
langsung dapat dipergunakan. Data sekunder yang penulis kumpulkan dalam
penelitian ini adalah Sejarah singkat Dinas
Pendapatan Daerah,
dan Bagian Keuangan pada Kantor Sekretaris daerah Kabupaten Samosir dan Srtuktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah, dan Bagian
Keuangan pada Kantor Sekretaris
daerah Kabupaten Samosir.
Penelitian ini dengan pendekatan trianggulasi yaitu suatu kombinasi
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan
interprestasi (interpretative approach).
Dengan pendekatan interprestasi, peneliti secara bebas memperhatikan/mengamati
kondisi dan peristiwa yang terjadi
secara bebas dan langsung. Pendekatan seperti ini memerlukan keahlian peneliti
dalam menafsirkan kondisi objek untuk mendapatkan informasiyang sah. Penelitian ini dilakukan pada instansi pemerintah daerah yang
berkompeten dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain: Dinas Pendapatan Daerah, Bagian Keuangan pada Kantor Sekretaris daerah Kabupaten Samosir. Peneliti
diharapkan dapat bersifat objektif dalam menafsir dan mengambil kesimpulan
dengan kondisi yang diamati. Pendekatan kuantitatif digunakan teknik analisa
deskriftif yang dinyatakan dalam sebaran
frekuensi dan presentase. Analisis kuantitatif digunakan untuk memperoleh data
yang dapat member informasi tentang pengelolaan keuangan publik.
3.3 Populasi dan
Sampel
3.3.1
Populasi
Populasi adalah sekelompok
orang, kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu.
Pengertian populasi(Universal), menurut sugyono dalam buku “statistika untuk
penelitian” (2002:55), adalah: “Wilayah
generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, dan kemudian
ditarik suatu kesimpulan”[17].
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.1 Daftar Populasi
Susunan Organisasi DPPKAD
|
Populasi
|
Jumlah
|
1.Kepala Dinas
|
Kepala Dinas
|
1 Orang
|
2.Sekretaris
a.
Sub Bagian
Program
b.
Sub Bagian
Keuangan
c.
Sub Bagian
Umum
|
Sekretaris
Kepala Sub Bagian Program
Kepala Sub Bagian Keuangan
Kepala Sub Bagian Umum
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
3.Bidang Pendapatan
a.
Seksi
Pendapatan
b.
Seksi
Pemungutan
c.
Seksi
Penetapan
|
Kepala
Bidang Pendapatan
Kepala Seksi Pendapatan
Kepala
Seksi Pemungutan
Kepala
Seksi Penetapan
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
4.Bidang Dana Bagi
Hasil(DBH)
a.
Seksi Pajak
Bumi dan Bangunan(PBB)
b.
Seksi
Pajak Provinsi dan Penerimaan Lainya
c.
Seksi
BPHTB
|
Kepala Bidang Dana Bagi
Hasil(DBH)
Kepala Seksi Pajak Bumi dan
Bangunan
Kepala Seksi Pajak Provinsi
dan Penerimaan Lainya
Kepala Seksi BPHTB
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
5.Bidang Akuntansi
a.
Seksi
Akuntansi Pengeluaran
b.
Seksi
Akuntansi Penerimaan
c.
Seksi
Pertanggungjawaban
|
Kepala Bidang Akuntansi
Kepala Seksi Pengeluaran
Kepala Seksi Akuntansi
Penerimaan
Kepala Seksi
Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
6.Bidang Keuangan
a.
Seksi
Perbendaharaan
b.
Seksi Gaji
c.
Seksi
Anggaran
|
Kepala Bagian Keuangan
Kepala Seksi Perbendaharaan
Kepala
Seksi Pengelolaaan Gaji
Kepala Seksi Anggaran
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
7.Bidang Aset Daerah
a.
Seksi Perencanaan
dan Penatausahaan Aset
b.
Seksi
Pemindah tanganan Aset
c.
Seksi
Pengamanan Aset
|
Kepala Bagian Aset Daerah
Kepala
Seksi Perencanaan dan Penatausahaan Aset
Kepala Seksi Pemindah
tanganan Aset
Kepala
Seksi Pengamanan Aset
|
1 Orang
1 Orang
1 Orang
1 Orang
|
8.Unit Pelaksana Teknis
Dinas
|
Kepala Unit Pelaksana Teknis
Dinas
|
1 Orang
|
Total Populasi
|
-
|
27 Orang
|
3.3.2
Sampel
Sampel merupakan sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek
penelitian. Dalam Penelitian ini semua anggaota populasi dijadikan sampel dan
disebut sensus atau istilah lainya sampling jenuh. Menurut Sugiyono: “Sampling jennuh atau sensus adalah teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel”[18].
Hal ini
sering dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30 orang,atau
penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
Anggota populasi, yang menjadi responden adalah kepala SKPD, dengan alasan:
1.
Kapala Dinas
merupakan penanggungjawab pelaksanaan kegiatan di Dinas.
2.
Kepala Dinas
berfungsi dalam penyusunan program kerja di bidang pendapatan, pengelolaan
keuangan dan asset daerah.
3.
Setiap
Kepala bagian lebih mengethui pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
3.4
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang dilakukan terdiri dari:
a.
Kuesioner
yaitu instrument pengumpulan data atau informasi yang dioperasionalisasikan ke
dalam bentuk item atau pertanyaan. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh World Bank dan Kementerian dalam
negeri Repuplik Indonesia. Kuesioner disebarkan kepada kepala bagian yang
terlibat dalam pengelolaan keuangan public, kuesioner disebar dan diisi oleh
unit kerja yang sesuai dengan bidang strategis yang akan ditanyakan. Kuesioner
tersebut memiliki 9 bidang strategis untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah.
Penyebaran kuesioner diberikan kepala bagian Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD).
b.
Dokumentasi
yaitu Metode pengumpulan data dan informasi melalui buku-buku, internet, dan
dokumen yang mendukung penelitian.
c.
Kepustakaan
yaitu mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku atau literature lainya
yang berkaitan dengan ojbek penelitian.
Kerangka pengukuran pengelolaan publik dapat dilihat pada table berikut
ini.
Table 3.2. Kerangka Pengukuran-bidang strategis dan Idikator
Variabel
|
Dimensi
|
Indikator
|
Skala
|
Pengelolaan
Keuangan Daerah
|
Proses
Pengelolaan Keuangan Daerah:
1. Perencanaan
|
a. Disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggara pemerintah dan kemampuan pendapatan
daerah dan berpedoman kepada RPJMD,
RKPD, KUA dan PPAS dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat
b. Adanya
hubungan yang konsisten antara proses perencanaan bottom-up yang
partisipatif, perencanaan pembangunan daerah, perencanaan sektoral dan APBD
c. Anggaran
berdasarkan kerangka jangka menengah
d. Target
anggaran layak dan berdasarkan proses penyusunan anggaran yang realistis
e. Anggaran
memihak kelompok miskin
f. Sistem
pemantauan dan evaluasi partisipatif yang komprehensif dalam proses
perencanaan dan penganggaran telah terbentuk
g. Pengendalian
Pengeluaran digunakan untuk memastikan kinerja anggaran
|
Grading
|
2
|
Pelaksanaan
anggaran
|
e. Sistem
Penerimaan dan Sistem Pembayaran
f. Menerbitkan
DIPA
g. Kebijakan,
prosedur, dan Pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien telah
terbentuk
h. Penerimaan
kas, pembayaran kas, serta surplus kas temporer dikelola/dikendalikan secara
efisien
i. Terdapat
sistem penagihan dan pemungutan pendapatan daerah yang efisien
j. Peningkatan
dan penanganan manajemen pendapatan
|
Grading
|
3
|
Penatausahaan
|
a. Asas
umum Penatausahaan Keuangan Daerah
b. Pelaksanaan
Penatausahaan Keuangan Daerah
c. Penatausahaan
Penerimaan dan Penatausahaan Pengeluaran
d. Kebijakan,
prosedur, dan pengendalian untuk mendorong effisiensi pengadaan barang dan
jasa yang kompetitif ditetapkan dan dilaksanakan
e. Suatu
sistem penanganan pengaduan resmi beroperasi
|
Grading
|
4
|
Pelaporan
Keuangan Daerah
|
e. Mewujudkan
akuntabilitas dalam pelaporan keuangan daerah
f. Mendukung
terwujudnya akuntabilitas pelaporan Keuangan
g. Adanya
kapasitas SDM dan Kelembagaan yang memadai untuk fungsi akuntansi dan
keuangan
h. Sistem
informasi akuntansi dan manajemen sudah terintegrasi
i. Seluruh
transaksi dan saldo keuangan pemerintah daerah dicatat serta akurat dan tepat
waktu
j. Terdapat
laporan keuangan dan informasi manajemen yang dapat diandalkan
|
Grading
|
5
|
Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
|
e. Lapaoran
keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan SAP
f. Laporan
Kinerja disusun sesuai dengan peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
Laporan Kinera Instansi Pemerintah
g. Terdapat
prosedur dan mekanisme untuk memastikan efektifitas tata kelola BUMD
h. Ditetapkan
dan dilaksanakannya kebijakan, prosedur, dan pengendalian mengenai perolehan
aset dan pengelolaan aset tetap yang dimiliki secara efektif
i. Basis
informasi pendukung pengelolaan aset ditetapkan dan dipelihara
j. Pengelolaan
aset dihubungkan dengan perencanaan dan penganggaran (APBD)
|
Grading
|
6
|
Pengawasan
|
a. Inspektorat
terorganisr dan diberdayakan untuk beroperasi dengan efektif
b. Standar
dan prosedur audit internal yang diaplikasikan dapat diterima
c. Temuan
audit internal ditindaklanjuti
|
Grading
|
3.5
Metode Analisis Data
Untuk menjawab rumusan masalah
digunakan metode scoring. Pilihan pendekatan scoring memungkinkan dilakukanya
peringkatan untuk setiap bidang strategis di Kabupaten Samosir, dan tiap hasil
untuk mengidentifikasi dimana letak kelebihan dan kelemahan berada.
Alat diagnostic ini mencari reson benar atau salah untuk setiap pertanyaan.
Respon tersebut dimasukkan dalam kertas kerja dan kemudian jumlah
jawaban’benar’ atau ya’ dijumlahkan untuk mendapatkan skor dibandingkan dengan
kemungkinan maksimumnya. Untuk mengevaluasi skor dan memfasilitasi perbandingan,
sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyediakan gambaran umum nilai dari
skor yang dperoleh untuk setiap hasil strategis dan bidang strategis. Meskipun
skor diagregatkan untuk setiap bidang strategis, skor ini tidak mewakili
seberapa besar tujuan strategis tersebut kemungkinan akan dicapai, sebab hanya
hasil-hasil terpilih untuk setiap bidang dimasukkan dalam kerangka kerja ini.
Setiap grading ini menggunakan lima grade (tingkatan). Pendekatan rangking
linear telah dipilih untuk tujuan ujicoba awal ini. Persentase dihitung
berdasarkan skor aktual ‘yes’ yang diperoleh dibangdingkan dengan kemungkinan
maksimum jawab ‘ya’ untuk setiap bidang strategis.
Table 3.3 Kriteria Kinerja Keuangan
Persentase Kinerja Keuangan
|
Criteria
|
100%
90-99%
80-89%
60-79%
Kurang dari 60%
|
Sangat Efektif
Efektif
Cukup Efektif
Kurang Efektif
Tidak Efektif
|
Sumber: Mahmudi. Membudayakan Akuntabilitas Publik.
Edisi kedua. UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2010, Hal.142
Skala grading diatas lebih
dirancang untuk memberikan indicator kelebihan dan kelemahan untuk setiap
bidang strategis, bukan suatu ukuran yang absolut dan sangat tepat. Analisa dan
interprestasi skor yang diperoleh membutuhkan kehati-hatian dan merujuk ke
kontek dimana alat ukur ini diterapkan.
Namun sebagai contoh, skor keseluruhan untuk setiap bidang strategis dapat
dengan mudah diturunkan dari alat ukur ini. Namun demikian, menarik skor
agregat untuk suatu kabupaten/kota dan menginterprestasikan skor keseluruhan
memiliki beberapa tantangan, seperti masalah pembobotan untuk setiap bidang
perlu dipertimbangkan secara hati-hati.
[1] http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=42362
[3] Adbul Halim, Muhammad Iqbal, Op.Cit.,hal
24
[4]Sumaryo Budi R.
. Undang-Undang
RI tentang Pemerintah Daerah dan Perubahanya. Edisi Kelima. CV.Citra Utama Media, Jakarta, 2008, hal.56
[5]Renyowijoyo,
Muindro. Akuntansi Sektor Publik.
Edisi Pertama. Mitra Wacana Media, Jakarta, 2008, hal. 216
[6]Nordiawan,deddi.
Akntansi Sektor Publik. Edisi
Pertama. Salemba Empat,Jakarta, 2009, hal. 88.
[7]
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005
Standar Akuntansi Pemerintah: Salemba Empat, Jakarta, 2009, Paragraf 8,
PSAP 01-3
[9]
Nurlan Darise, Akuntansi
Sektor Publik-Akntansi Keuangan Daerah, cetakan Pertama: Indeks, Jakarta,
2008, hal 133.
[10]
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, Op. Cit., Pasal 1 ayat 7
[16]
Ulum, Ihyaul M.D. Audit
Sektor Publik. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Bumi Aksara, Jakarta, 2009,
hal. 131.
[17]
Ruslan Rosadi. Metode
Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Edisi Pertama. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal.
133.
Komentar
Posting Komentar